Minggu, 04 Agustus 2013

Lentera Jiwa

Ketika saya membaca sebuah buku kecil. buku ini bercerita tentang dua kurcaci.
Mereka hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju.
Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat mereka tinggal akan
habis.Karena itu, dia selalu menjaga stamina dan kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi siap mencari keju di tempat lain.
Sebaliknya, kurcaci yang kedua, begitu yakin sampai kiamat pun persediaan keju tidak akan pernah habis.

Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya ‘dipindahkan’ oleh seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena itu tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa nyaman. Maka dia memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai suatu hari keju yang hilang akan kembali.

Apa yang terjadi, kurcaci itu menunggu dan menunggu sampai kemudian mati kelaparan.
Sedangkan kurcaci yang selalu siap tadi sudah menemukan labirin lain yang penuh keju.
Bahkan jauh lebih banyak dibandingkan di tempat lama.

Pesan moral buku sederhana itu jelas:
jangan sekali-kali kita merasa nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang tidak mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya akan mati digilas waktu.


Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang merasa tidak bahagia dengan pekerjaan mereka.Bahkan seorang, yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia.
Dia merasa ‘lentera jiwanya’ ada di ajang pertunjukkan musik.
Tetapi dia takut untuk melompat.Takut untuk memulai dari bawah.
Dia merasa tidak siap jika kehidupan ekonominya yang sudah mapan berantakan.
Maka dia menjalani sisa hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia.

Kita juga menemukan banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang mereka tekuni sekarang. Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin menjadi apa, ada yang jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang belakangan ternyata putus juga) atau ada yang karena solider pada teman. Tetapi yang paling banyak mengaku jurusan yang mereka tekuni sekarang -- dan membuat mereka tidak bahagia -- adalah karena mengikuti keinginan orangtua.

kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil keputusan besar dalam hidup mereka.
Ada Bara Patirajawane, anak diplomat dan lulusan Hubungan Internasional, yang pada satu titik mengambil keputusan drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia masak memasak.
Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan yang sangat dia sukai dan menghantarkannya sebagai salah satu pemandu acara masak-memasak di televisi dan kini memiliki restoran sendiri. ’Saya sangat bahagia dengan apa yang saya kerjakan saat ini,’ ujarnya. Padahal, orangtuanya menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai dpilomat.

Semua orang ingin bahagia.
Tetapi banyak yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya.
Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang dicintainya.
Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu gembira dalam menikmati hidup.

‘’Bagi saya, bekerja itu seperti rekreasi. Gembira terus. Nggak ada capeknya,’’ ujar Yon Koeswoyo,
salah satu personal Koes Plus dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh enerji. Dinamis. Tak heran jika Yon mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti. Sungguh luar biasa. ‘Semua karena saya mencintai pekerjaan saya. Musik adalah dunia saya. Cinta saya. Hidup saya,’ katanya.

Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya.
Berbahagialah mereka yang sudah mencapai taraf bekerja adalah berekreasi.
Sebab mereka sudah menemukan lentera jiwa mereka.

Yanu Zega

Tidak ada komentar:

Posting Komentar