BAB
I
PENDAHULUAN
Diselamatkan oleh anugerah
adalah suatu konsep dalam teologi
Kristen yang menyatakan bahwa keselamatan manusia adalah pemberian Allah
semata. Dalam konsep ini, keselamatan manusia tidak ditentukan oleh perbuatan
yang dilakukannya, melainkan berdasarkan anugerah dari Allah yang diterima
melalui iman kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamat.
Keselamatan itu bukan karena pekerjaan atau perbuatan manusia, melainkan
keselamatan itu anugerah Allah.[1]
Konsep ini terdapat di dalam Alkitab Perjanjian Baru. Dalam sejarah kekristenan,
selanjutnya konsep ini banyak diperdebatkan, khususnya mengenai kontribusi
manusia dalam mengusahakan keselamatannya.
Alkitab
mengajarkan dengan jelas bahwa manusia yang berdosa "telah diselamatkan
dengan cuma-cuma melalui “anugerah" (Roma 4:16). Jadi dasar pembenaran itu
adalah kematian Kristus, dan sarana yang olehnya pembenaran itu menjadi efektif
adalah iman[2].
Akan tetapi, manusia harus merespon anugerah Allah tersebut bagi dirinya
sendiri melalui iman. Melalui penjelasan tersebut, disimpulkan bahwa
"karena anugerah oleh iman", selanjutnya dinyatakan, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan
oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil
pekerjaanm jangan ada orang yang memegahkan diri”
(Efesus 2:8), maka manusia diselamatkan. Dikatakan ‘jangan kamu memegahkan
diri’ artinya jangan kamu menyangka bahwa pekerjaan yang kamu kerjakan adalah
suatu jasa melainkan semuanya adalah kasih karunia.[3]
Harun Hadiwijono menyatakan, “Menurut Roma 3: 21, 22, agar manusia dapat dibenarkan
di dalam penghakiman Allah, ia harus memiliki kebenaran Allah karena iman di
dalam Kristus Yesus.”[4]
Kebenaran dari Allah diberikan di dalam Kristus karena iman. Dan iman ini
adalah unsur penting dalam pengorbanan-Nya yang mendatangkan penebusan dosa.[5]
Namun, dalam Yakobus 2: 14-26
menyatakan, “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa
ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu
menyelamatkan dia?” (ay 14). Selanjutnya Yakobus menyatakan, “Bukankah Abraham,
bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan
Ishak, anaknya, di atas mezbah?” (ay 21). Sekilas memperhatikan ayat-ayat di
atas, memberi kesan bahwa diperlukan usaha manusia dalam memperoleh keselamatan
atau bukan karena anugerah saja.
Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah Yakobus mengajarkan keselamatan oleh iman atau oleh perbuatan? Atau keselamatan
oleh iman + perbuatan? Apakah asal beriman saja tidak perduli moralnya baik
atau jahat? Apakah Yakobus bermaksud menambahkan
syarat lain yaitu ‘perbuatan’ ketika ia menyatakan “Bukankah Abraham, bapa
kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan
Ishak, anaknya, di atas mezbah?” (Ykb 2:21). ‘Apakah ada kontradiksi antara
rasul lain secara khusus Paulus dengan Yakobus?
BAB II
LANDASAN TEORITIS RELASI IMAN DAN
PERBUATAN
1. Definisi Iman
Hal yang paling mendekati definisi
dari iman di dalam Perjanjian Baru di temukan di Ibrani 11:1, “Iman adalah
dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang
tidak kita lihat.” Dalam kamus bahasa Indonesia, iman adalah kepercayaan kepada
Tuhan (berkaitan dengan agama); keyakinan dan kepercayaan kepada Allah;
ketetapan hati, keteguhan hati.[6]
Dalam Perjanjian Baru iman berarti: mengamini
dengan segenap kepribadian dan cara hidupnya kepada janji Allah, bahwa Ia di dalam Kristus telah mendamaikan orang
berdosa dengan diriNya sendiri, sehingga segenap hidup orang yang beriman
dikuasai oleh keyakinan yang demikian itu.
Jadi, iman di pandang sebagai tangan
yang diulurkan manusia guna meneriman kasih karunia Allah yang besar. Juga
dapat dikatakan bahwa iman dipandang sebagai “jalan keselamatan”. Dalam arti
yang demikian jugalah kata iman dipakai di dalam ungkapan “orang benar itu akan
hidup oleh imannya atau percayanya” (Hab. 2:4; bnd Rm. 1:17; Gal 3:11; Ibr.
10:38).
2. Jenis-jenis Iman
Alkitab tidak selalu membicarakan iman
dalam pengertian yang sama. Louis Berkhof membagi empat jenis iman sebagai
berikut:[7]
a)
Iman historis
Iman ini
sepenuhnya merupakan penerimaan atas kebenaran, tanpa memperhatikan tujuan
moral maupun spiritual. Iman ini mungkin akibat dari suatu tradisi, pendidikan,
pendapat umum, atau suatu kekaguman atas kebesaran Alkitab, dan sebagainya,
yang disertai dengan tindakan umum Roh kudus. Mungkin saja iman ini sangat
ortodoks dan alkitabiah, tetapi tidak berakar dalam hati, Mat 7:26; Kis 26:27;
Yak 2:19
b)
Iman Mujizat
Yang disebut
dengan iman mujizat adalah suatu kepercayaan yang ada di dalam pikiran
seseorang bahwa sebuah mujizat akan dapat dilakukannya atau dilakukan atas
namanya. Allah dapat memberikan kepada seseorang satu pekerjaan yang mengatasi
kekuatan alamaiahnya dan memungkinkan dia melakukannya. Setiap usaha semacam
itu mambutuhkan iman. Hal ini sangat jelas dalam keadaan dimana manusia tampil
hanya sekedar sebagai alat Tuhan atau sebagai seorang yang mengumumkan bahwa
Tuhan akan mengerjakan mujizat, sebab orang semacam itu harus mempunyai rasa
percaya yang penuh bahwa Tuhan tidak akan mempermalukan dia. Akhirnya Tuhan
hanya dilihat hanya sebagai pembuat meujizat. Iman inipun dapat disertai iman
yang menyelamatkan, Mat 8:10-13; Yoh 11:22.
c)
Iman Sementara
Iman seperti
ini adaalah kepercayaan terhadap kebenaran agama yang disertai dengan tuntunan
hati nurani dan pengaruh perasaan, tetapi tidak berakar dalam. Istilah ini
diambil dari Mat 13:20,21. Disebut sebagai iman sementara sebab tidak permanen
dan gagal mempertahankan diri pada hari pencobaan dan kesulitan. Iman semacam
ini kadang-kadang disebut iman munafik. Mungkin sebaiknya iman ini disebut
sebagai iman khayalan. Kristus menyebut orang yang percaya sedemikian: “tidak
berakar pada dirinya sendiri” (Mat. 13:21). Secara umum dapat dikatakan bahwa
iman sementara berdasar pada hidup emosional dan berusaha mencari kesenangan
pribadi dan bukan kemuliaan Tuhan.
d)
Iman yang Benar dan Menyelamatkan
Iman yang
benar dan menyelamatkan adalah suatu iman yang memiliki kedudukan dalam hati
dan berakar pada hidup yang telah mengalami kelahiran kembali. Iman ini
pertama-tama bukan tindakan manusia akan tetapi suatu potensi yang diberikan
oleh Tuhan dalam hati orang berdosa. Benih iman ditanamkan dalam diri manusia
ketika ia mengalami kelahiran kembali. Hanya sesudah Tuhan menanamkan benih
dalam hati manusia, maka ia dapat melakukan tindakan iman. Iman yang
menyelamatkan dapat didefinikan sebagai suatu keyakinan yang pasti yang
ditanamkan dalam hati manusia oleh Roh Kudus, kepada kebenaran injil dan suatu
kepercayaan yang sesungguhnya pada janji Allah dalam Kristus. Akhirnya memang
benar bahwa Kristus adalah objek iman yang menyelamatkan, tetapi Ia diberikan kepada
kita hanya melalui injil.
3. Diselamatkan Hanya Oleh Karena Iman
Di dalam Yohanes 19:30 dapat dibaca mengenai
saat-saat terakhir penderitaan Yesus pada kayu salib, “Sesudah Yesus meminum anggur asam itu,
berkatalah Ia: “Suda selesai.” Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan
nyawa-Nya.”
Di sini perkataan bahasa Yunani yang diterjemahkan
“sudah selesai” merupakan pilihan kata yang paling sempurna yang dapat dipakai.
Itulah kata kerja dalam bentuk perfek itu sendiri mengandung dengan tuntas, dan
hasilnya masih tuntas sampai sekarang (sempurna). Untuk menggambarkannya:
“sudah disempurnakan dengan sempurna” atau sudah dipenuhi dengan sepenuhnya”.
Artinya, benar-benar selesai, sehingga tidak diperlukan apa-apa lagi untuk
menambahkan kesempurnan.
Segala sesuatu yang perlu dilakukan untuk membayar
lunas hukuman atas dosa-dosa manusia dan membeli kebebasan dan keselamatan
semua manusia sudah dikerjakan melalui penderitaan dan kematian Yesus pada kayu
salib. Jika kita mengajarkan, bahwa
masih ada yang harus dilakukan di samping apa yang telah dilakukan oleh
Kristus, sesungguhnya kita menolak mengakui bahwa karya penebusan Yesus sempurna.
Dengan demikian, jika seseorang ingin mengusahakan
sendiri keselamatannya dengan perbuatan yang baik, baik seluruhnya ataupun sebagian saja,
sesungguhnya ia menghina Allah Bapa dan Allah Anak. Mengapa? Karena hal itu
menimbulkan kesan seolah-olah karya penebusan dan keselamatan yang sejak semula
direncanakan oleh Anak-Nya itu belum cukup, belum selesai. Ini jelas bertentangan
dengan apa yang diajarkan oleh seluruh Perjanjian Baru.
Rasul Paulus dengan tegas dan secara
berulang kali mengajarkan hal ini. Di dalam Roma 4:4-5 ia menulis, “Kalau ada
orang yang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan sebagai hadiah, tetapi sebagai
haknya. Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia
yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran.”
Perhatikan ungkapan “orang yang tidak bekerja,
namun percaya”. Jelas dikatakan di situ, untuk mendapatkan keselamatan ada satu
syarat yang harus dipenuhi: orang itu sama sekali tidak boleh bekerja. Ia harus
berhenti berusaha melakukan sesuatu untuk memperoleh keselamatan. Sebagai suatu
imbalan. Keselamatan hanya diperoleh karena iman. Selama manusia masih juga
berusaha melakukan sesuatu untuk memperoleh keselamatannya, ia tidak akan
mengalami keselamatan yang diberikan
Allah, sebab keselamatan itu hanya diperoleh dengan percaya.[8]
Paulus
menegaskan kebenaran ini dalam Efesus 2:8-9, “Sebab karena kasih karunia kamu
diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu
bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” Perhatikan
bahwa di dalam tulisan bahasa Yunani, Paulus memakai kata kerja bentuk perfek,
artinya “kamu sudah diselamatkan”. Ayat ini mengatakan bahwa kita sudah
diselamatkan sekarang juga, pada waktu masih hidup di dunia ini. Jadi,
keselamatan itu bukanlah sesuatu yang baru didapatkan sesudah kematian.
Keselamtan
bukanlah ‘upah’ dari perbuatan baik, melainkan ‘karunia’ dari Allah. Hal ini
dijelaskan oleh Paulus dalam Titus 3:5, “Pada waktu itu Dia telah menyelamatkan
kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena
rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang
dikerjakan oleh Roh Kudus…” melalui ayat ini cukup jelas, Dia telah menyelamatkan kita bukan karena perbuatan baik yang telah
kita lakukan, tetapi karena rahmatNya. Jika kita diselamatkan, hal itu
bukan terjadi karena perbuatan baik yang kita lakukan, tetapi karena belas
kasihan dan rahmat Allah semata-mata.[9]
4. Relasi Iman dan Perbuatan Menurut Rasul Paulus
Rasul Paulus memberi penjelasan yang
luas tentang kaitan antara keselamatan dengan iman dan perbuatan. Namun
pemahaman yang tepat tidak didapatkan tanpa mengetahui bahwa Pada intinya
Paulus berjuang melawan konsep para rabi Yahudi tentang keselamatan yang
diperoleh perbuatan berdasarkan hukum taurat. Oleh karena itu maka Paulus
menyatakan, “Kita dibenarkan hanya oleh iman dan bukan oleh perbuatan-perbuatan
berdasarkan hukum taurat (Rm 3:28).”[10]
Herman Riderbos menyatakan, “Bagi Yudaisme, taurat adalah penangkal penting
bagi ancaman dan kuasa dosa. Taurat adalah sarana penting untuk mendapatkan
kebenaran di hadapan Allah”[11]
Selanjutnya Riderbos menjelaskan bahwa yudaisme tidak mengenal jalan
keselamatan selain oleh taurat. Israel memeluk taurat sebagai sumber
keselamatan. Taurat dianggap sanggup memberikan hidup kepada manusia dan
melakukan taurat dapat mengurangi hukuman dosa.[12]
Berlawanan dengan faham yudaisme di atas, dasar
ajaran Paulus mengenai pembenaran adalah karya Allah yang dilaksanakan di dalam
Kristus. Semua ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah
mendamaikan kita manusia dengan diriNya; sebab Allah mendamaikan dunia dengan
diriNya oleh Kristus” (2 Kor. 5:18-19). Ayat lain mengatakan, “Ia telah melepaskan
kita dari kekuasaan kegelapan dan memindahkan kita ke dalam kerajaan AnakNya
yang kekasih; di dalam Dia kita memiliki penebusan kita” (Kol. 1:13-14). Dalam
Roma 3:26 dikatakan bahwa Allah membenarkan orang yang percaya kepada Kristus.[13]
Dalam
surat Paulus kata “membenarkan” paling tidak mempunyai beberapa arti: (1) Allah menyatakan orang , yang
percaya kepada Tuhan Yesus Kristus mempunyai hubungan yang benar dengan-Nya
(Rm. 3:26); (2) Manusia dibebaskan
dari dosa (Rm. 6:7); (3) Manusia
dibebaskan dari kesalan (Rm. 2:13); (4)
Allah terbukti benar (Rm. 3:4). Ajaran Paulus mengenai “dibenarkan” berhubungan
dengan tantangan besar yang dihadapinya, yaitu yudaisme yang percaya bahwa
kebaikan manusia perlu diperhitungkan di depan Allah. Jadi dalam banyak kasus
Paulus menunjukkan bahwa keselamatan semata-mata adalah anugerah Tuhan.
Anugerah ini diberikan kepada manusia melalui imannya kepada Yesus Kristus (Rm.
3:24). Jadi iman yang dimaksud Paulus adalah sikap dan keputusan yang
menyerahkan diri sepenuhnya kepada anugerah Allah.[14]
Paulus
menegaskan “Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah
dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para
nabi, yaitu kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang
yang percaya.” (Roma 3 21-24). Keselamatan menjadi efektif bagi manusia kalau
diterima dalam iman. Oleh sebab itu Paulus dapat berkata bahwa manusia
dibenarkan karena iman, dengan kadang-kadang menambahkan tanpa pengalaman
hukum.
Manusia
menjadi benar artinya tanpa salah di hadapan Tuhan, bukan karena ia memang
tanpa salah tetapi karena Allah telah memperdamaikan dunia dengan dunia dengan
diriNya dalam Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran
lagi. Dalam Kristus Allah menerima manusia berdosa dan dengan demikian Allah
meniadakan dosa. Sebetulnya tidak dapat dikatakan (dalam arti yang sebenarnya)
bahwa imanlah yang menyelamatkan: yang menyelamatkan adalah Allah sendiri, tetapi
karya Allah itu menjadi efektif bagi manusia kalau diamini dengan iman. Maka
berlawan dengan pengalaman hukum atau usaha manusia lainnya, tepatlah perkataan
bahwa manusia diselamatkan oleh iman. Dari pihak manusia hanya ada satu jalan
kepada keselamatan yakni menerima dalam iman-dari tangan Tuhan, dengan
cuma-Cuma. Singkatnya: “Oleh rahmat kamu diselamatkan dengan jalan kepercayaan,
bukan oleh usaha kamu sendiri melainkan secara dianugerahi oleh Allah, jadi
tidak berdasarkan perbuatan-perbuatan agar jangan seorangpun memegahkan diri”
(Ef. 2:8-9).
Kesimpulan
penulis adalah ketika Paulus mengatakan “manusia dibenarkan hanya oleh iman dan
bukan karena perbuatan-perbuatannya” maka perbuatan yang Paulus maksudkan
disini adalah Perbuatan berdasarkan hukum taurat. Pernyataan-pernyataan Paulus
tentang “keselamatan hanya oleh iman dan bukan karena pekerjaanmu atau usahamu”
maka pekerjaan atau usaha yang dimaksud Paulus adalah usaha menaati hukum
taurat sebagai yang olehnya mereka (yudaisme) diselamatkan.
5.
Relasi Iman dan Perbuatan Menurut Para Reformator
Isu berkenaan dengan usaha manusia dan anugerah
dalam keselamatan merupakan inti dari perbedaan historis antara teologi Roma
Katolik dengan Protestan. Deklarasi utama dari reformasi adalah sola gratia, yaitu keselamatan hanya
merupakan anugerah Allah semata-mata. Sebelum reformasi pada abad 16 yang
dipelopori oleh Marthin Luther, pemahaman tentang peranan iman dalam
keselamatan telah mangalami pertukaran posisi. Iman bukan lagi sebagai yang
utama dalam keselamatan tetapi perbuatan atau amal baik manusia.
Stephen Tong menyatakan,“Para reformator
menekankan mengenai iman kepercayaan. Iman kepercayaan bukan semacam pengakuan
intelektual terhadap doktrin yang dipaksakan. Juga bukan semacam pengertian
ajaran yang hanya bersifat rasionil saja. Tetapi iman kepercayaan bagi Luther
adalah suatu penerimaan-atas-penerimaan. Artinya anugerah diberikan kepada
kita, yaitu Allah menerima orang berdosa. Iman itu suatu penyerahan total
dihadapan anugerah Allah yang menghentikan segala pergumulan atau penyandaran
pada diri sendiri yang tidak layak, sebaliknya melihat Dia yang melayakkan
kita”[15]
R.C. Sproul menyatakan, “Deklarasi Marthin Luther
bahwa pembenaran hanya berdasarkan iman merupakan artikel yang di atasnya
berdiri dan jatuh. Pembenaran dapat dijabarkan sebagai tindakan dimana orang
berdosa yang tidak benar dibenarkan dihadapan Allah yang kudus dan adil.
Kebutuhan utama dari orang yang tidak benar adalah kebenaran. Kebenaran yang
tidak dimiliki inilah yang disediakan oleh Kristus kepada orang berdosa yang
percaya. Pembenaran berdasarkan iman saja berarti pembenaran yang terjadi oleh
karena usaha Kristus semata-mata, bukan karena kebaikan kita atau
perbuatan-perbuatan baik kita”[16]
Jadi, para reformator sampai pada keyakinan yang
kuat bahwa keselamatan hanya berdasarkan iman (sola fide) dan bukan karena
perbuatan baik manusia. 31 Oktober 1517, pada waktu Luther menempelkan sembilan
puluh sembilan tesis di pintu gereja di Witenberg, dapat dilihat sebagai
permulaan reformasi, dengan pengukuhan
dari keselamatan berdasarkan anugrah melalui iman, bukan pandangan sinergistik
atau kerjasama antara iman dan perbuatan dari gereja Roma Katolik[17].
Sebagai akibatnya Luther menolak doktrin pengakuan dosa, pengampunan dosa dan
bentuk lain apapun dari usaha manusia yang dibutuhkan untuk keselamatan dari
Roma Katolik. Luther sampai pada suatu kesimpulan bahwa hanya anugerah Allah
yang merupakan dasar dan fondasi dari keselamatan serta jastifikasi manusia. Ia
mengajarkan bahwa hanya anugerah Allah yang mengampuni dosa-dosa dan
pengimputasian kebenaran dari Kristus pada mereka yang percaya.[18]
Paul Ennes menyatakan, “Luther mengajarkan bahwa
perbuatan baik tidak berbagian dalam keselamatan. Perbuatan-perbuatan baik
merupakan hasil atau buah dari keselamatan, tetapi tidak pernah bagian dari
keselamatan.”[19]
Kesimpulan penulis dari uraian di atas adalah
bahwa sebelum reformasi, gereja Roma Katolik menganut paham keselamatan
diperoleh melalui kerja sama dari perbuatan-perbuatan baik dengan iman. Sebelum
reformasi, perbuatan atau amal baik menempati posisi utama sebagai sarana bagi
keselamatan daripada iman. Kemudian Luther melakukan reformasi bahwa
keselamatan berdasarkan anugerah melalui iman, perbuatan baik tidak berbagian
dalam keselamatan. Perbuatan-perbuatan baik merupakan hasil atau buah dari
keselamatan, tetapi tidak pernah bagian dari keselamatan. Karena itu bagi
reformator berbuat baik karena telah selamat bukan berbuat baik supaya selamat.
BAB III
RELASI IMAN DAN PERBUATAN
BERDASARKAN EKSPOSISI YAKOBUS 2 : 14 – 26
Sangat penting untuk mengeksposisi
Yakobus 2:14-26 terlebih dahulu untuk mendapatkan relasi yang tepat dan benar
antara iman dan perbuatan karena ayat-ayat inilah yang diaanggap akan
memberikan informasi yang lengkap akan hubungan keduanya.
A.
Kajian
Eksposisi Yakobus 2:14-26
Douglas J. Moo seorang penafsir konservatif memberi judul
untuk Yakobus 2:14-26, Iman yang menyelamatkan menyatakan dirinya dalam
perbuatan-perbuatan[20].
Kalau memperhatikan isi dan unsur retorik dalam Yakobus 2:14, 17, 20 dan 26,
jauh lebih baik Yakobus 2:14-26 dibagi menjadi tiga bagian subbagian: Yakobus
2:14-17, 18-20, 21-26. Dengan pembagian ini, tiga subbagian berdiri sendiri
namun saling berkaitan. Garis besar seperti ini akan lebih memperhatikan argument-argumen
Yakobus yang kuat dan menarik. Pembagian ini dilakukan karena masing-masing
subbagian mempunyai pembahsan yang utuh. Ditambah lagi ayat 17, 20 dan 26
mempunyai topik dan pola yang mirip yang menandakan berakhirnya suatu
subbagian.[21]
1)
Yakobus 2:14-17 (Iman dan Prakteknya)
Yakobus 2:14, Apakah gunanya,
saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia
tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?
Tafsiran J.J.W.
Gunning menyatakan, “Tidak ada gunanya kalau seseorang mempunyai iman yang
tidak disertai perbuatan. Iman itu sendiri tidak dapat menyelamatkan atau
dengan kata lain iman itu tidak akan diteima Allah.[22] Iman itu tidak
menyelamatkan dirinya dan karena itu tidak berguna.
Kata Iman di dalam ayat 14 kemungkin besar adalah kepercayaan kepada
Yesus Kristus secara pribadi. Pengertian ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa
iman dihubungkan dengan keselamatan seseorang. Kemudian kata perbuatan jangan diartikan sama dengan
pengertian yang biasa terdapat dalam surat-surat Paulus yaitu menaati peraturan
hukum Musa. Disini yang dimaksud adalah perbuatan-perbuatan baik seperti belas
kasihan (ay 13) dan pemberian sedekah kepada orang miskin yang berkekurangan
(ay 15 dan 16)[23]
Perbuatan yang dimaksud oleh Yakobus bukanlah perbuatan menurut pemahaman
Yahudi yaitu sarana untuk memperoleh keselamatan, namun perbuatan iman hasil moral dari kesalehan sejati da khususnya
perbuatan kasih.[24]
Kalimat dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Di sini Yakobus seolah-olah
tidak sepakat bahwa keselamatan hanya oleh iman saja. Namun, umumnya penafsir
menjawab pertanyaan ini “tidak”. Charles F. Pfeifer
dan Everent F. Harrison menyatakan, “Jawaban yang diharapkan dari pertanyaan
dalam ayat ini adalah “tidak” yang tegas. Mengapa? Karena penting untuk dicatat
bahwa iman yang dibahas di sini adalah iman yang palsu. Hal ini di jelaskan
oleh: (1) pernyataan jika seorang
mengatakan bahwa ia mempunyai iman dan (2) pemakaian kata sandang tertentu
yang digabungkan dengan kata iman pada anak kalimat terakhir. Hanya iman palsu
yang tidak dapat menghasilkan perbuatan dan tidak mampu menyelamatkan.”[25]
Apa yang ingin ditekankan Yakobus adalah kenyataan bahwa iman tanpa perbuatan
tidak memiliki kekuatan: iman itu tidak dapat menyelamatkan.
Yakobus menekankan bahwa tidak ada
pemisahan antara iman dan perbuatan. Tidak ada seorangpun dapat mengatakan
bahwa dirinya memiliki iman jika tidak ada perbuatan yang membuktikannya. Iman
yang sesungguhnya harus diungkapkan dalam perbuatan.[26] William Barclay, “Satu
hal yang yang ditentang penulis surat yakobus adalah pengakuan iman tanpa
dibarengi praktek, kata-kata tanpa perbuatan.”[27]
Pada ayat 15 Yakobus memberi gambaran seseorang yang
sangat miskin sehingga kebutuhan hidup yang paling dasarpun seperti pakaian dan
makanan, tidak dapat dipenuhi. Ini merupakan gambaran seorang yang kedinginan
(kalau daerah itu memang dingin) atau kelaparan. Pada ayat 16 dia melanjutkan
ilustrasinya yang hampir sama maknanya.
William
Barclay menyatakan, “Yakobus memilih ilustrasi yang secara gamblang menjelaskan
yang ia maksud. Jikalau seorang tidak meiliki pakaian untuk melindungi dirinya
ataupun makanan untuk dimakan, dan sahabat orang itu mengungkapkan rasa
simpatinya yang terdalam untuk keadaan yang menyedihkan itu, namun simpatinya
itu berhenti hanya pada kata-kata dan tidak ada usaha yang dilakukannya untuk
mengatasi keadaan orang yang malang itu, apa gunanya semua itu? Apakah gunanya
simpati itu tanpa ada usaha mewujudkannya dalam tidndakan nyata. Iman tanpa
perbuatan adalam mati.”[28]
Dalam Yakobus 2:17 Demikian juga
halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada
hakekatnya adalah mati. Klausa ‘demikian juga halnya dengan iman’ merupakan
kesimpulan dari perbandingan pada ayat sebelumnya. Yakobus melakukannya dengan
menggunakan kata “demikian” yang mempunyai arti sejajar dengan contoh yang
diberikan. Demikian di sini sama artinya dengan frasa “dengan cara yang sama”.
Kata iman (ay 17) yang digunakan Yakobus menunjuk pada apa yang disebut
iman pada ayat 14.[29] Demikianlah
juga iman yang tidak disertai dengan perbuatan tidak ada artinya. Iman yang
demikian tidak boleh sama sekali disebut iman.[30]
Kata-kata jika
iman itu tidak disertai perbuatan secara harafiah berarti “jika iman tidak
memiliki perbuatan” maka jelas bahwa perbuatan bukan sesuatu yang ditambahkan
pada iman – keduanya harus ada bersama-sama. Penulis tidak bermaksud untuk
membedakan antara iman dan perbuatan; yang dibedakan adalah antara iman yang
disertai perbuatan dan iman yang tidak disertai perbuatan. Bagi Yakobus iman
harus disertai oleh perbuatan. Yang satu tidak dapat ada tanpa yang lain, sebab
iman yang tanpa perbuatan adalah mati.
Kemudian Yakobus menyatakan, “Maka iman itu pada
hakekatnya adalah mati.” Kata mati
dipakai sebagai kiasan yang artinya “tidak hidup, tidak bekerja, tidak
berguna”. Dalam banyak bahasa, penerjemah perlu mengatakan sebagai berikut: kepercayaanmu tidak berguna, atau percaya seperti itu tidak berguna/(tidak menghasilkan apa-apa). Kesimpulan
itu menjelaskan bahwa orang Kristen tidak cukup hanya mengucapkan kata-kata
harapan kepada saudara dan saudarinya yang berkekurangan. Orang yang mengaku
Kristen harus memberikan pertolongan kepada yang membutuhkannya. Kalau tidak
kepercayaan itu keparcayaan yang mati.
Ronald
A. Ward
menyatakan, “Dalam hal ini kita mendapat suatu ajaran bila membandingkan dengan
Lukas 23:43. Penjahat yang bertobat itu tidak mempunyai waktu lagi untuk
berbuat sesuatu sedangkan imannya tidak mempunyai waktu untuk mati. Tentu
Yakobus tidak mau menyangkal hal ini. Yang dimaksud ialah iman yang
sungguh-sungguh mempunyai kesempatan untuk dinyatakan di dalam perbuatan,
tetapi kesempatan yang ada tidak digunakannya.”[31]
Jadi, ayat 14 menjelaskan dengan terus terang bahwa iman
tidak berguna tanpa perbuatan. Dalam ayat 17, Iman demikian tidak ada gunanya.
Karena iman yang tanpa perbuatan itu tidak ada gunanya, maka iman kepercayaan
demikian tidak dapat menyelamatkan jiwanya. Artinya Iman tanpa perbuatan adalah
iman yang palsu. Karena iman ini mati, maka iman ini tidak dapat menyelamatkan
orang yang bersangkutan.[32]
2)
Yakobus 2:18-20 (Iman dan Perbuatan Tidak Dapat Dipisahkan)
Dalam lalimat ‘tetapi mungkin ada orang berkata’ penerjemah
menghadapi masalah karena tidak tahu siapa lawan bicaranya ini, ada bebrapa
kemungkinan pemecahannya, tetapi tidak ada satupun yang benar-benar meyakinkan,
sehingga kita harus puas dengan pemecahan yang paling sedikit kesulitannya:
a)
Beberapa ahli menganggap bahwa
orang lain itu lawan Yakobus.
Hal ini berarti kata tetapi menrupakan pengantar terhadap suatu sanggahan.
Masalahnya, di manakah kata-kata orang yang membantah itu selesai dan di
manakah kata-kata Yakobus dimulai. Kebanyakan ahli menganggap kata-kata orang
lain itu hanya padamu ada iman dan padaku ada perbuatan. Tafsiran ini yang
diikuti oleh TB
b)
Kemungkinan yang lain adalah
dengan menganggap kata ganti “mu” dan “ku” pada bagian pertama ayat ini bukan lawan Yakobus, tetapi sebagai
wakil dari dua kelompok dalam jemaat. Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa
mereka hanya hanya memiliki iman (tanpa perbuatan), sedangkan yang lain
memiliki perbuatan saja. Orang-orang itu menyatakan bahwa iman dan perbuatan
merupakan anugerah yang terpisah satu sama lain (1Kor. 12:4-10); Seseorang
dapat memiliki salah satu saja dari keduanya, tetapi tidak selalu meiliki
keduanya secara bersamaan. Kemudian Yakobus membantah pendapat yang mengatakan
bahwa tidak ada pemisahan antara iman dan
perbuatan. Jadi, kata ganti “mu” dan “ku” sama dengan ‘orang’ dan “yang
lain”. Tafsiran ini diikuti oleh BIMK (“ada
orang yang bersandar kepada imannya dan ada pula yang bersandar kepada
perbuatannya”) dan salah satu terjemahan membuatnya sebagai “seorang memilih iman, yang lain memilih
perbuatan atau ada orang yang berkata, aku mempunyai dan yang lain berkata aku
mempunyai perbuatan”. Agar urutan percakapan itu jelas, kita perlu
menambahkan sesuatu yang tersirat dalam teks untuk memperjelas perkembangan
pemikirannya, umpamanya aku akan menjawab
dia (TB), saya akan menjawab (BIMK).
Walaupun masih ada kesulitan, mungkin
kita harus mengikuti tafsiran (b), karena tafsiran itu kelihatannya paling
sesuai dengan konteks sehingga lebih banyak penerjemah dan ahli tafsir yang
mengikutinya.[33]
Yakobus 2:19 Engkau
percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga
percaya akan hal itu dan mereka gemetar. Kini Yakobus membandingkan iman yang tidak
ditunjukkan dengan perbuatan dengan iman yang dimiliki setan-setan. Untuk
memulai pendapatnya dia mengutip apa yang menjadi inti iman Yahudi, yang diakui
oleh dirinya dan lawannya.
Kata percaya di
sisni adalah kepercayaan berdasarkan pemikiran saja yaitu bahwa hanya ada satu
Allah saja. Pengakuan ini bersumber dari pengakuan iman shema yang terkandung dalam ajaran agama Yahudi (Ul. 6:4) dan
dipakai juga oleh orang Kristen (Mrk. 12:29; Rm. 3.30). Yabobus bermaksud
mengatakan bahwa orang yang percaya bahwa Allah itu esa tanpa membiarkan
kepercayaan ini mengubah perilakunya, memiliki iman yang sama dengan
setan-setan, yaitu roh-roh jahat. Iman itu tidak dapat menyelamatkan.
Kepercayaan demikian hanya berada dalam tahap
pengetahuan dan belum diwujudkan dalam kelakuan. Iman kepercayaan seperti ini
bukanlah iman yang sejati, karena di dalamnya tidak ada pertobatan dan kasih. Tanpa kedua unsur ini, iman kepercayaan
setan-setan tidak menolong diri mereka. Analogi ini cukup keras, terlebih bagi
orang Kristen yang
mempunyai latar belakang Yahudi. [34]
Yakobus 2:20
Hai manusia yang bebal, maukah engkau
mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong? Kalimat
Hai manusia yang bebal berarti
“orang bodoh yang kosong kepalanya”. Kata kosong di sini menunjukkan kurangnya
pengertian yang berarti “tidak berakal” atau “bodoh”. Maukah engkau mengakui bahwa iman tanpa
perbuatan adalah iman yang kosong.
Pemikiran yang sama dengan ini telah dinyatakan beberapa kali. Iman
tidak ada perbuatan disebut tidak ada
gunanya pada ayat 14, disebut mati pada
ayat 17 dan di sini disebut kosong
yang secara harafiah berarti “tidak bekerja”, yaitu “tidak berpengaruh” atau
“tidak menghasilkan”. Dapat diamati permainan kata-kata di sini: “iman tanpa
perbuatan adalah tidak berbuat”. Pernyataan ini menyimpulkan pokok pikiran
utama dalam bagian ini.
Yakobus hendak menegaskan adanya iman
tidak dapat dibuktikan tanpa melalui perbuatan. Iman justru menyatakan
keberadaannya memalui perbuatan. Perbuatan-perbuatan Yakobus merupakan bukti nyata
tentang adanya iman pada dirinya. Ini tidak berarti perbuatan itu lebih penting
daripada iman. Bila seseorang berbuat baik (membuahkan perbuatan) tetapi itu
bukan hasil dari beriman, maka sia-sialah perbuatan itu. Maksudnya perbuatan
itu tidak ada artinya di mata Tuhan. Bukankah kita diselamatkan oleh iman
kepada Yesus, bukan karena perbuatan baik kita? Kita tidak berbuat baik untuk
diselamatkan, tetapi kita berbuat baik karena sudah diselamatkan.[35]
3)
Yakobus 2:21-26 (Iman
dan Buktinya)
Sub unit ini mengambil dua tokoh dalam
sejarah orang Yahudi Abraham dan Rahab sebagai contoh. Mereka telah membuktikan
iman mereka dengan berani dalam tindakan nyata. Iman Abraham terbuti dengan
mempersemahkan anak yang dikasinya. Sedangkan Rahab menyatakan imannya melalui
pertolongan yang dia berikan kepada dua orang pengintai.
Yakobus 2:21
Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan
karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di
atas mezbah?
Penafsiran tentang kata “dibenarkan
karena perbuatan-perbuatannya” perlu diperhatikan suasana perselisihan di antara
yang kaya dan yang miskin. Berita utama Yakobus dalam konteks ini tidak
berkaitan langsung dengan soteriologi. Maka kalimat “dibenarkan
karena perbuatan-perbuatannya” di Yakobus 2:21 harus dimengerti dari Perjanjian Lama. Tindakan Abraham mempersembahkan Ishak diperkenan
Allah (Kejadian 22:1-19). Dengan konteks ini
kata “dibenarkan” mempunyai arti dikenal dan diberi pahala oleh
Allah; Perbuatannya diperkenankan Allah.[36]
Dengan demikian pembaca surat Yakobus mendapat dorongan besar untuk mengikuti
jejak bapak leluhur mereka, Abraham. Di lain pihak, contoh ini mengingatkan
mereka akan keputusan berani yang diambil Abraham. Banyak hal memang
membutuhkan keberanian. Ini amat dirasakan oleh pembaca kitab ini. Tidak mudah
untuk tidak memandang muka atau memberi bantuan kepada saudara seiman yang
kelaparan. Dalam masyarakat yang kebanyakan penduduknya miskin, tidak mudah
membantu orang lain. Bukan saja karena kebutuhan sendiri belum terjamin, tetapi
juga karena pemberian sedikit bantuan akan menarik lebih banyak orang datang
untuk minta bantuan. Ini semua sangat tidak mudah di atasi.[37]
Menurut Charles
F. Pfeiffer dan Everent F. Harison
bahawa kata yang diterjemahkan menjadi dibenarkan
di sini jangan dikelirukan dengan pemakaian istilah tersebut oleh Paulus dalam
hubungan dengan Abraham (bnd Rm. 4:1-5). Paulus menunjuk kepada pembenaran awal
Abraham ketika “percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal
itu kepadanya sebagai kebenaran (bnd. Kej 15:6). Yakobus mengacu pada suatu
peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian, yaitu ketika Abraham diminta
untuk mempersembahkan anaknya Ishak. Melalui tindakan ini dia menunjukkan
realitas dari pemahaman kejadian 15. [38]
Yakobus 2:22, Kamu lihat,
bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan
itu iman menjadi sempurna.Nya.
Bagi Yakobus, iman tidak mungkin bisa dipisahkan dengan
perbuatan-perbuatan, karena seseorang yang mengaku diri beriman kepada Allah,
ia harus menjalankan perintah-perintah-Nya dan otomatis perbuatan-perbuatannya
mencerminkan bahwa seseorang itu beriman kepada Allah atau bukan. Doren Wjdana menyatakan bahwa Perbuatan tanpa
iman adalah perbuatan yang sia-sia. Iman tanpa perbuatan adalah iman yang
kosong. Iman yang bekerja sama dengan perbuatan adalah iman sejati.[39]
Perbuatan dan iman kepercayaan sama
pentingnya. Untuk menegaskan maksud ini, Yakobus memakai kata “bekerja sama”
dan menjadi “sempurna” (atau diterjemahkan “disempurnakan”, kata pertama
“bekerja sama” dapat dibaca sebagai suatu permaiman kata yang menanggapi kata
“perbuatan” di ayat 21. Kata “bekerja sama” ini dapat juga diterjemahkan “membantu”. Terjemahan ini serasi dengan
kata “disempurnakan” di ayat 22b.
Apa arti disempurnakan? Ini berkaitan dengan
kedewasaan yang dibahas Yakobus 1:4. Kalau memperhatikan topik bagian ini, ayat
ini sebaiknya dipahami sebagai “iman membantu perbuatan terlaksana dalam
kehidupan; iman tidak dapat dikatakan “sejati” (sempurna) tanpa perbuatan yang
nyata.”[40] Memisahkan
iman dari perbuatan suatu yang mustahil (bnd ay 18). Di dalam kasus Abraham,
kedua hal tersebut berjalan bersama-sama.”[41]
Yakobus 2:23,
Dengan jalan demikian genaplah nas yang
mengatakan: "Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah
memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." Karena itu Abraham
disebut: "Sahabat Allah." Melalui ayat 23, Yakobus tetap mengatakan bahwa Allah
memperhitungkan iman (kepercayaan) Abraham (bukan perbuatannya) kepada Allah
sebagai status yang dibenarkan. Bagian ini mengutip kitab Kejadian 15:6 yang
mengatakan, “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal
itu kepadanya sebagai kebenaran.” Iman
Abraham berkaitan dengan kebenaran, menemukan makna terakhirnya dalam
ketaatannya.[42]
Sebenarnya ayat ini dapat dipahami dengan pendekatan yang
lebih sederhana.Yakobus menulis bagian ini dengan tujuan yang jelas. Dia
menekankan bahwa iman kepercayaan tanpa perbuatan tidak berguna. Tetapi di lain
pihak dia ingin menjaga keseimbangan. Abraham diperkenan Allah karena dia
adalah seorang yang beriman. Iman kepercayaannya sudah terlihat jauh sebelum ia
mempersembahkan Ishak. Apa yang
dilakukan Abraham kemudian menggenapkan apa yang disabdakan Allah tentang dia
di Kejadian 15:6. Allah berkenan padanya karena Abraham memperlihatkan iman
kepercayaannya yang konsisten.[43]
Yakobus 2:24
Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan
karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.
Dalam penafsiran ayat ini, Kata-kata
“…bukan hanya karena iman” seharusnya
dimengerti dalam subbab ini, khususnya Yakobus 2: 18, 19. Manusia dibenarkan
bukan karena iman yang kosong, contohnya iman kepercayaan setan-setan (ay 19).
Jadi iman yang sejati yang berguna bagi manusia. Iman seperti ini diwujudkan
dalam perbuatan. Ayat ini ditunjukkan kepada “saudara-saudaraku” di Yakobus
2:14 bukan penentang di Yakobus 2:18.
Manusia tetap dibenarkan melalui iman kepada Tuhan Yesus
Kristus, tetapi kalau iman yang menyelamatkan itu saja yang menjadi pegangan,
bagaimana orang lain dapat melihat bahwa diri kita beriman, kalau
perbuatan-perbuatan kita sama jahatnya dengan orang-orang dunia? Di sini,
Yakobus ingin menyeimbangkan dan mengintegrasikan iman yang menyelamatkan dan
hidup dengan perbuatan-perbuatan sehari-hari yang memuliakan Allah.
Yakobus 2:25 Dan bukankah
demikian juga Rahab, pelacur itu, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya,
ketika ia menyembunyikan orang-orang yang disuruh itu di dalam rumahnya, lalu
menolong mereka lolos melalui jalan yang lain? Di sini Yakobus menambahkan
satu contoh lagi untuk membuktikan pendapatnya bahwa iman harus dinyatakan
dalam perbuatan agar diterima oleh Allah.
Rahab tokoh penting dalam PL. Dia dikenal karena dua hal,
pertama, dia dikenal sebagai seorang pelacur bukan yahudi, yang mengeluarkan
pengakuan yang terkenal “TUHAN”, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di
bumi di bawah (Yosua 2:11).” Kedua, dia juga dikenal sebagai orang asing yang
menyamakan dirinya dengan orang Israel dan masuk dalam masyarakat tersebut, dan
“sampai hari ini keturunan Rahab masih ada di Israel (Yosua 6:25, BIMK)”.
Dibenarkan
karena perbuatan-perbuatannya:
kata-kata ini, artinya sama dengan di ayat 21. Dalam hal ini, perbuatan-perbuatan Rahab adalah
penyambut pengintai-pengintai bangsa Israel dan menolong mereka untuk melarikan
diri. Disini kata-kata “dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya” dapat juga diterjemahkan sebagai Allah
menerimanya sebagai orang yang baik karena perbuatan-perbuatan baik yang
dilakukannya. Lebih tepatnya Hasan Susanto menyatakan bahwa kata “dibenarkan” pada kalimat “dibenarkan
karena perbuatan-perbuatannya” lebih mungkin berarti dikenal dan diberi pahala
oleh Allah. Iman kepercayaan Rahab terbukti melalui perbuatannya. Dia
diperkenan oleh Allah.[44]
Yakobus 2:26 Sebab
seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa
perbuatan-perbuatan adalah mati. Disini Yakobus menyimpulkan pendapatnya.
Dia mengulangi pemikiran-pemikirannya yang dinyatakan pada ayat 17, yaitu bahwa
iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah
mati, tetapi dia menambahkan perbandingan untuk membuatnya lebih jelas. Yakobus
membandingkan iman tanpa perbuatan denga tubuh tanpa roh. Menarik sekali bahwa,
dalam kalimat ini, iman disejajarkan
dengan tubuh, dan perbuatan dengan roh. Mungkin hal ini tidak sesuai dengan yang kita harapkan, namun
kita tidak perlu mencari rincian perbandingan
itu yang setepatnya. Yakobus tidak tertarik akan hal ini, sebaliknya dia
ingin menunjukkan bahwa yang satu tidak dapat hidup tanpa yang lain.
Tubuh tanpa roh adalah mati, pada
kalimat ini ada kemungkinan bahwa
Yakobus menunjuk kepada pemikiran yang mendasari Kejadian 2:7, di mana manusia
dianggap terdiri atas tubuh tanpa roh (baik dalam bahasa Ibrani maupun dalam
bahasa Yunani kata yang dipakai untuk “roh” dapat diartikan “napas maupun roh).
Ada hubungan antara keduanya; apabila keduanya dipisahkan, hasilnya adalah
kematian. Di sini roh mungkin lebih ditafsirkan sebagai napas yang memberi
kehidupan, umpamanya tubuh akan mati kalau tanpa napas, atau seperti tubuh mati
jika tidak ada napas di dalamnya, dan setiap orang yang tidak bernapas adalah
mati.
Jadi jika
orang tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik, iman orang itu tidak berguna,
atau jadi jika seseorang berkata, aku percaya kepada Allah, tetapi tidak melakukan perbuatan-perbuatan
baik, dia tidak sungguh-sungguh percaya.
B.
Relasi Iman
dan Perbuatan Berdasarkan Yakobus
2:24-26
Berdasarkan uraian di atas tentang eksposisi Yakobus
2:14-26, maka penulis akan memaparkan relasi iman dan perbuatan dalam Konteks
Keselamatan, seperti berikut ini:
1)
Iman Sejati
Dipraktekkan Dalam Perbuatan
Tidak ada gunanya kalau seseorang mempunyai iman yang
tidak disertai perbuatan. Iman itu sendiri tidak dapat menyelamatkan atau
dengan kata lain iman itu tidak akan diteima Allah. Iman itu tidak
menyelamatkan dirinya dan karena itu tidak berguna. Tetapi istilah “perbuatan”
ini jangan diartikan sama dengan pengertian yang biasa terdapat dalam
surat-surat Paulus yaitu menaati peraturan hukum Musa. Disini yang dimaksud
adalah perbuatan-perbuatan baik seperti belas kasihan (ay 13) dan pemberian
sedekah kepada orang miskin yang berkekurangan (ay 15 dan 16); Perbuatan iman
hasil moral dari kesalehan sejati dan khususnya perbuatan kasih. Iman yang
tidak disertai dengan perbuatan adalah iman yang palsu. Hanya
iman palsu yang tidak dapat menghasilkan perbuatan dan tidak mampu
menyelamatkan.
Perbuatan bukan sesuatu yang ditambahkan pada iman –
keduanya harus ada bersama-sama. Penulis tidak bermaksud untuk membedakan
antara iman dan perbuatan; yang dibedakan adalah antara iman yang disertai
perbuatan dan iman yang tidak disertai perbuatan. Bagi Yakobus iman harus
disertai oleh perbuatan. Yang satu tidak dapat ada tanpa yang lain, sebab iman
yang tanpa perbuatan adalah mati.
Iman yang tanpa perbuatan bukan saja
tidak berguna bagi diri orang yang bersangkutan, juga tidak bermafaat bagi
orang yang membutuhkan bantuan. Orang hidup
dalam kekurangan yang disebutkan dalam ayat 15 dan 16 sangat mungkin
mereka adalah saudara dan saudari seiman
2)
Iman dan Perbuatan
Tidak Dapat Dipisahkan
Ada orang yang bersandar kepada imannya
dan ada pula yang bersandar kepada perbuatannya, keduanya tidak benar. Yakobus
membantah dan mengatakan bahwa iman yang tidak ditunjukkan dengan perbuatan sama
dengan iman yang dimiliki setan-setan (Yak. 2:19). Iman itu adalah
pemikiran umum yang intelektual dan iman itu dapat digabungkan dengan
kejahatan. Sama seperti setan-setan …
percaya dan melanjutkan kekejiannya,
demikian pula engkau pun dapat percaya dan melanjutkan dosamu. Yang menjadi
masalah bukan isi iman yang salah, melainkan iman itu tidak disertai perbuatan
baik.
Orang yang bersandar kepada imannya dan ada pula
yang bersandar kepada perbuatannya, keduanya tidak benar. Tidak mungkin orang
itu mengasihi Allah dan sesamanya (perbuatan) tanpa iman dan tidak orang
mengaku beriman tanpa mengasihi Allah dan sesamanya.
Tidak ada gunanya mengaku percaya pada Yesus Kristus,
tetapi tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik, atau jika engkau tidak
melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka tidak ada gunanya engkau mengaku
percaya kepada Yesus Kristus.
3)
Iman Sejati
Dibuktikan Melalui Perbuatan
Perlu
harus disadari bahwa harus ada iman dahulu, baru sesudah itu perbuatannya.
Perbuatan-perbuatan adalah buah yang dengan sendirinya tumbuh dari iman itu.
Perbuatan-perbuatan harus ada, namun bukan sebagai syarat yang mutlak
ditambahkan untuk memperoleh keselamatan karena Allah telah menyelamatkan kita
bukan karena perbuatan baik yang kita lakukan, tetapi karena rahmatNya
Iman
harus ditunjukkan melalui perbuatan-perbuatan sehingga iman itu menjadi hidup
bukannya mati. “Segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa”,
demikian tulisan Rasul Paulus dalam Roma 14:23. Sedangkan dasar iman itu
sendiri adalah Kristus. Perbuatan baik adalah tanda bahwa kita telah
diselamatkan.
Iman
disempurnakan dengan perbuatan-perbuatan. Artinya iman membantu perbuatan terlaksana dalam
kehidupan; Iman tidak dapat dikatakan “sejati” (sempurna) tanpa perbuatan yang
nyata. Jika tidak ada perbuatan-perbuatan yang membuktikan iman yang diakuinya,
itu berarti bahwa sebanarnya tidak ada iman yang hidup di dalam dirinya.
BAB
IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan yang penulis kemukakan dari bab I-III,
maka pada bab ini penulis akan menyimpulkan dan memberikan saran-saran yang
sesuai kepada orang percaya.
A.
Kesimpulan
Keselamatan adalah anugerah Allah
semata-mata. Manusia menerima keselamatan dari Allah hanya karena iman, bukan
karena perbuatan. Setelah menerima keselamtan dengan cara demikian, manusia
harus mengerjakan keselamatan itu di dalam kehidupan melalui
perbuatan-perbuatan yang manusia lakukan dan kerjakan. Jika manusia tidak aktif
mengerjakan keselamatan dengan cara
demikian sesudah ia menjadi percaya, itu menunjukkan bahwa iman yang
diakuinya dengan mulut itu adalah iman yang mati. Itu tandanya bahwa ia belum
sungguh-sungguh mengalami keselamatan.
Manusia tidak diselamatkan karena perbuatan. Tetapi perbuatan-perbuatan
merupakan tanda apakah iman itu benar-benar hidup, sekaligus
perbuatan-perbuatan itulah yang akan meningkatkan kadar iman orang
percaya.
Perbuatan bukan
sesuatu yang ditambahkan pada iman –
keduanya harus ada bersama-sama. Yakobus tidak bermaksud untuk membedakan
antara iman dan perbuatan; yang dibedakan adalah antara iman yang disertai
perbuatan dan iman yang tidak disertai perbuatan. Bagi Yakobus iman harus
disertai oleh perbuatan. Yang satu tidak dapat ada tanpa yang lain, sebab iman
yang tanpa perbuatan adalah mati.
Yakobus
tidak bertentangan dengan Rasul-rasul lain, khususnya Rasul Paulus. Yakobus
menghadapi tantangan berbeda dengan Paulus. Paulus
berjuang melawan konsep para rabi Yahudi tentang keselamatan yang diperoleh
perbuatan berdasarkan hukum taurat. Yakobus berhadapan dengan (a) Orang Kristen Yahudi yang memandang
muka dan berpeluk tangan terhadap kebutuhan saudara seiman yang miskin. Yakobus
ingin mendesak mereka bertindak. (b)
Orang Kristen yang hanya bersandar pada iman tanpa perbutan. Oleh karena itu, yang dimaksud perbuatan oleh Yakobus bukanlah perbuatan
menurut pemahaman Yahudi yaitu sarana untuk memperoleh keselamatan, namun perbuatan iman hasil moral dari
kesalehan sejati dan khususnya perbuatan kasih. Sedangkan pekerjaan
atau usaha yang dimaksud Paulus adalah usaha menaati hukum taurat sebagai yang
olehnya mereka (yudaisme) diselamatkan.
B.
Saran
Akhirnya penulis menyarankan beberapa hal
sebagai berikut:
1.
Orang percaya
hendaknya menyatakan imannya melalui perbuatan baik terutama terhadap saudara
seiman dan kepada semua orang.
2.
Orang percaya
hendaknya dalam melalukan perbuatan baik bukan supaya diselamatkan melainkan
sebagai bukti bahwa orang percaya sudah diselamatkan.
[1]
JL. Ch. Abineno, Tafsiran Alkitab: Surat
Efesus, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1997), hlm.57-58.
[2]
George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian
Baru II (Bandung: Yayasan KH, 1999), hlm. 201-202.
[3]
Abineno, Op Cit hlm 57.
[4]
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2007), hlm 407.
[5] F.
Davidson dan Ralph P. Martin, Tafsiran
Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1982), hlm 422.
[6] Tim Reality, Kamus Terbaru
Bahasa Indonesia, (Surabaya: Realiti Publisher), hlm 298
[7]Louis Berkhof, Teologi
Sistematika Vol 4: Doktein Keselamatan (Jakarta: LRII, 1997) hlm 197-201
[8] Derek Prince. Bertobat dan
Percaya (Jakarta: Immanuel, 1995) hlm 72-74
[9] Ibid hlm 75-78
[10] Antony A. Hoekema, Diselamatkan
oleh Anugerah (Jakarta: Momentum, 2010), hlm180
[11] Herman Riderbos, Paulus:
Pemikiran Utama Teologinya (Jakarta: Momentum, 2010) hlm135
[13] T. Jacobs, Paulus: Hidup,
Karya dan Teologinya (Yogyakarta: Kanisius, 1982) hlm 166
[14] Hasan susanto, Surat Yakobus:
Berita Perdamaian yang Patut Didengar (Malang: SAAT, 2006) hlm 207-208
[15] Stephen Tong, Reformasi dan
Teologi Reformd, (Jakarta:LRII, 1994), hlm 18
[16] R.C. Sproul.
Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen (Malang: SAAT), hlm251
[17] Paul Ennes, Buku Pegangan
Teologi Jilid 2, (Malang: Literatur SAAT, 2004) hlm 79
[18] Ibid
[19] Ibid
[21] Ibid hlm 205
[22] J.J.W. Gunning, Tafsiran
Alkitan Surat Yakobus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997) hlm 30
[23] I-Jin Loh dan Howard A. Hatton, Op.
Cit. hlm78
[24] Charles F. Pfeifer dan Everent F. Harrison, Tafsiran Alkitab Wycliffe (Malang: Gandum Mas, 2001) hlm 978
[25] Ibid
[26] I-Jin Loh dan Howard A. Hatton, Op.
Cit. hlm. 76
[27] William Barclay, Pemahaman
Alkitab Setiap Hari Surat Yakobus, 1& 2 Petrus (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2010), hlm 120
[38] Charles F. Pfeiffer dan Everent F. Harison, hlm 979
[39] Doren W. Kupasan Firman
Allah: Surat Yakobus (Bandung: Lembaga Literatur Babtis) hlm 54
[40] Hasan Susanto. hlm 267
[41] Charles F. Pfeiffer dan Everent F. Harison, Ibid. hlm 979
Tidak ada komentar:
Posting Komentar